Habib Hasan bin Ja’far Assegaf: Gemilang Cahaya Dakwah
Habib Hasan adalah anak sulung Habib Ja’far Assegaf yang lahir di Bogor pada 26 Februari 1977. Ia mendapat pendidikan awal dari ayahnya, kemudian meneruskan ke Pesantren Darul Hadits dan Darut Tauhid di Malang selama tiga tahun. Setelah itu ia juga sempat mengambil kuliah di IAIN Sunan Ampel, Malang.
Tahun
1998, Habib Hasan membuka sekaligus memimpin Majelis Ta’lim Al-Irfan.
Pengajian digelar di kediamannya, di Bogor, tepat di belakang rumah
Habib Kramat Empang, Bogor.
Pada suatu malam, setelah shalat
Istikharah dan sebelumnya melakukan ziarah ke makam kakeknya, Habib
Abdullah bin Muhsin Alattas, di Bogor, Habib Hasan bermimpi. “Ana
bermimpi bertemu Habib Kuncung (Habib Ahmad bin Alwi Al-Haddad). Dalam
mimpi itu Habib Kuncung berkata agar ana berdakwah di Jakarta,” tutur
Habib Hasan.
Menyadari bahwa saran itu datang dari habib kharismatis yang sudah tiada, Habib Hasan pun memulai dakwahnya di Jakarta.
Awalnya dia berkeliling dari rumah ke
rumah murid-muridnya. Enam bulan kemudian, seorang jama’ah datang
kepadanya dengan membawa seorang pria berumur separuh baya. Pria itu
minta agar Habib Hasan bersedia mengobati kakinya.
“Ketika itu ana bingung, karena ana belum
pernah menangani hal demikian,” kenangnya. Namun, karena tidak ingin
mengecewakan tamunya, Habib Hasan kemudian mengambil sebotol air putih
dan membacakan Ratib Alattas. Botol itu kemudian diserahkan kepada si
sakit dengan pesan agar diminum setibanya di rumah.
“Dua hari kemudian orang itu kembali
kemari dalam keadaan sembuh,” ujar Habib Hasan. Entah bagaimana, rupanya
peristiwa itu menyebar sehingga nama Habib Hasan dikaitkan dengan
hal-hal yang bersifat mistis dan supranatural. Namun yang jelas, sejak
itu, jama’ahnya pun bertambah secara signifikan, menjadi seratus orang.
Awal 1999, Habib Umar bin Hud Cipayung
wafat. Habib Umar adalah teman kakek Habib Hasan. Untuk menghormati
teman kakeknya itu, Habib Hasan mencium kening almarhum dan berdoa, “Ya
Allah, jadikan aku seperti almarhum dalam hal ilmu dan amal.”
Satu bulan kemudian, jama’ah bertambah
lagi, menjadi empat ratus orang. Karena pertambahan jama’ah yang cukup
besar itu, pada akhir tahun 1999, atas saran H. Jamalih bin H. Piun,
sesepuh setempat, ia memindahkan tempat ta’lim ke Masjid Al-Ahyar di
Kampung Kandang. Ketika saran itu dilaksanakan, yang hadir ada sekitar
lima ratus orang.
Selanjutnya, jalan lebar seperti terbuka
dengan sendirinya. Masjid-masjid sekitar Cilandak membuka pintunya
lebar-lebar untuk menampung acara majelis ta’lim Al-Irfan. Tahun 2000,
jama’ahnya bertambah lagi menjadi sekitar delapan ratus orang, yang
berdatangan dari seluruh penjuru Jakarta.
Melihat hal itu, Habib Umar bin Hafidz
dari Tarim, Hadhramaut, setelah meminta pertimbangan kepada Al-Alamah
Habib Anis Al-Habsyi, mengubah nama majelis ta’lim itu menjadi “Nurul
Muthofa”, yang maknanya “Cahaya Manusia Pilihan”.
Dua tahun kemudian, 2002, syiar majelis
ta’lim Nurul Musthofa kian meluas. Mulai dari Warung Buncit, Mampang
Prapatan, Kuningan, Kalibata, hingga Kreo. Jumlah jama’ahnya pun
bertambah, menjadi sekitar dua ribu orang.
Tahun 2003, Majelis Ta’lim Nurul Musthofa
dikunjungi ulama-ulama besar, seperti Habib Abdul Qadir Al-Masyhur dari
Makkah, Habib Zain bin Ibrahim bin Smith dan putranya, Habib Muhammad,
dari Madinah, juga Habib Salim Asy-Syatiri dari Tarim, Hadhramaut.
Fitnah Berdatangan
Tahun 2003 adalah tahun ujian bagi Habib
Hasan. Selain ayahnya, Habib Ja’far, wafat pada bulan haji, fitnah pun
berdatangan kepadanya. Majelis Ta’lim Nurul Musthofa dikatakan sebagai
majelis bid’ah, majelis syirik. Malah suatu hari, ketika ia bangun
tidur, ranjangnya penuh dengan kalajengking.
Maka Habib Hasan pun segera bangkit dari
tidur dan berdoa. Dalam sekejap kalajengking-kalajengking itu mati
semua. Pada kali yang lain ia menemukan seekor ular di kamarnya. Bahkan
pernah selama satu bulan kakinya tidak bisa digerakkan. Selama itu
kegiatan ta’lim diserahkan kepada adiknya, Habib Abdullah. Kakinya
sembuh berkat bacaan rutin Subhanallah wa bihamdihi, Subhanallahil
‘adhim, Astaghfirullah.
Sempat terlintas dalam benaknya akan
meninggalkan kegiatan majelis ta’limnya itu. Tapi dibatalkan, karena
tidak disetujui Al-Alamah Habib Abdurrahman Assegaf, Bukit Duri. Setelah
mendapat dukungan Habib Abdurrahman, hatinya semakin mantap. Dan untuk
menghadapi fitnah-fitnah itu, Habib Hasan melakukan ziarah ke makam para
shalihin di berbagai tempat, seperti di Luar Batang, Kwitang, Bogor,
Tegal, Pekalongan, Solo, Gresik, Surabaya, Bangil, Malang, dan
lain-lain.

Esok harinya ia pergi ke Tegal, dan
memakai baju yang sama. Jadi ia yakin bahwa foto syarifah pemberian
ibunya itu masih ada di kantung baju. Namun, ketika sampai di Tegal,
foto itu raib. Kemudian ia melanjutkan perjalanannya ke Solo.
Ketika sampai di rumah Al-‘Alamah Habib
Anis Al-Habsyi di Solo, di kantungnya terasa ada sesuatu yang
mengganjal. Setelah diraba, ternyata ganjalan itu adalah sebuah foto,
yaitu foto syarifah pemberian ibunya.
Saat bertemu Habib Anis, Habib Hasan
minta pendapatnya tentang calon istrinya yang wajahnya ada di dalam foto
itu. Padahal sampai detik itu ia belum melihat wajah di foto itu. Dan
ternyata Habib Anis menyatakan persetujuannya terhadap calon tersebut.
Sekembalinya ke Bogor, kepada ibunya
Habib Hasan menceritakan pertemuannya dengan Habib Anis. Maka
keluarganya pun segera mempersiapkan acara untuk melamar gadis itu. Pada
saat itulah Habib Hasan baru berani melihat wajah di foto yang telah
dibawanya ke mana-mana itu, yang ternyata adalah Syarifah Muznah binti
Ahmad Al-Haddad, keponakan Habib Abdul Qadir bin Ahmad Al-Haddad,
Condet. Lamaran tidak bertepuk sebelah tangan. Sebulan kemudian,
pernikahan dua sejoli itu dilangsungkan di rumah mempelai perempuan.
Kini pasangan itu telah dikaruniai tiga
orang anak: Rogayah, 8 tahun, Attos Abdullah, 7 tahun, dan Ali, 6
tahun. Setelah Habib Hasan berkeluarga, semuanya jadi tambah lancar.
Jama’ahnya bertambah hingga enam ribu orang, tersebar di Jakarta Selatan
dan Timur. Bahkan tahun 2005 jumlah jama’ah mencapai 15 ribu orang.
Tahun berikutnya, Habib Hasan pindah ke
Kampung Manggis di depan kantor Darul Aitam di Jalan Kahfi I, Jakarta
Selatan. Di situ dia membangun rumah dan mushalla di atas tanah hibah
dari H. Abdul Gofar, Hj. Nur Utami, dan H. Masturoh.
Pada tahun itu juga Habib Hasan
mengukuhkan Yayasan Nurul Musthofa, yang diketuai oleh adiknya, Habib
Abdullah bin Ja’far Assegaf, dan dia sendiri, dengan izin resmi dari
Departemen Agama.
Tahun 2006, Majelis Ta’lim Nurul Musthofa
berkembang semakin pesat. Pada tahun ini pula, Habib Hasan mulai
mendiami rumahnya sendiri yang juga menjadi kantor sekretariat Yayasan
Nurul Musthofa.
Ulam Tiba

Tanah itu perlu diurug. Namun untuk
mengurug dibutuhkan tanah yang tidak sedikit. Apalagi kiri-kanan lahan
tanah tersebut telah dibatasi tembok-tembok tetangga.
Ketika menyadari hal itu, Rahman, tangan
kanan Habib Hasan, menyatakan pesimistis. Namun Habib Hasan dengan
tenang menjawab, “Sabar saja, nanti juga akan ada tanah untuk
mengurug.” Benar juga, beberapa hari kemudian, Rahman menerima
kedatangan tetangga sebelah yang merencanakan ingin membuat kolam
renang, sehingga akan membuang tanah yang cukup banyak. “Pucuk dicita,
ulam tiba,” kata Rahman. Maka, tanpa kesulitan, tanah dari tetangga
sebelah dipindahkan ke rumah Habib Hasan.
Agenda Dakwah
Kegiatan Majelis Ta’lim Nurul Musthofa
berjalan sejak Senin sampai Sabtu, ba’da maghrib, yang dihadiri sekitar
300 sampai 400 jama’ah.
Malam Senin, pembacaan kitab Syarah
Ainiyah, karya Habib Ahmad bin Hasan Alattas. Malam Selasa, pembacaan
Safinatun Najah, diikuti dengan ziarah ke Makam Habib Kuncung di
Kalibata. Malam Rabu, pembacaan shalawat dan kitab Riyadhus Shalihin.
Malam Kamis pembacaan nama-nama Nabi SAW dengan qashidahan. Malam
Jum’at, pembacaan Dalailul Khairat dan kitab Arbain Imam Nawawi,
diteruskan ziarah ke makam Habib Salim bin Toha Al-Haddad. Dan malam
Sabtu, pembacaan kitab Aqidatul Awam.
Pada malam Ahad, Habib Hasan mengerahkan
jama’ahanya untuk mengikuti majelis ta’lim yang berpindah-pindah sesuai
undangan. Para jama’ah itu dikoordinir di suatu tempat yang strategis
dan kemudian membentuk konvoi menuju ke tempat acara bersama dia dan
krunya dalam iring-iringan kendaraan roda empat dan roda dua. Di
sepanjang jalan mereka mengumandangkan kalimah-kalimah tauhid dan
sejenisnya.
Ketika sampai di tujuan, di sana ribuan
jama’ah yang lain telah menanti. Dan angkasa pun dimeriahkan dengan
dentuman dan kilatan kembang api. Setelah itu, acara ta’lim dimulai dan
berlangsung sekitar dua sampai tiga jam. Sekitar jam 00.00 acara usai
dan para jama’ah membubarkan diri dengan tertib. Di rumahnya, Habib
Hasan masih menggelar pengajian hingga subuh tiba…
sumber: Majalah alKisah