Kekhususan Umat Nabi Muhammad S.A.W
Tulisan berikut adalah pada bagian awal dari kitab Syaraf al-Ummah
al-Muhammadiyyah karya Abuya Sayyid Al Maliki, dimana disebutkan
kekhususan-kekhususan umum atau ciri-ciri umum yang dikaruniakan Allah
S.w.t kepada umat Nabi Muhammad S.a.w. Adapun mengenai berbagai
kekhususan yang berkaitan dengan amal-amal peribadatan, dibahas pada
bagian selanjutnya.
Keyakinan Yang Sempurna Pada Umat Ini
"Tidak ada umat lain yang beroleh limpahan karunia lebih utama atau sama dengan yang dilimpahkan Allah S.w.t kepada umat Nabi Muhammad S.a.w"
Keyakinan Yang Sempurna Pada Umat Ini
"Tidak ada umat lain yang beroleh limpahan karunia lebih utama atau sama dengan yang dilimpahkan Allah S.w.t kepada umat Nabi Muhammad S.a.w"
Di antara kemuliaan umat Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa
shahbihi wa salam ialah bahwa Allah S.w.t melimpahkan keyakinan yang
sebesar-besarnya kepada umat ini. Mengenai hal itu Al-Ma’shum Sayyidina
Muhammad S.a.w menyatakan kesaksiannya:
ما اعطيت امة من اليقين افضل مما اعطيت امتى
“Tiada umat yang dianugerahi keyakinan lebih afdhal (utama) daripada yang dianugerahkan Allah kepada umatku.”
Yakni, tiada umat lain yang hatinya oleh Allah dilimpahi sinar cahaya
untuk dapat membuka dada guna mengenal-Nya hingga dapat bermujahadah
melawan nafsunya sendiri berdasarkan jalan yang selurus-lurusnya, hingga
masalah akhirat bagi mereka seolah-olah dapat dilihat dengan terang
dan nyata.. Tidak ada umat lain yang beroleh limpahan karunia lebih
utama atau sama dengan yang dilimpahkan Allah kepada umatku (Beliau
Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam).
Umat-umat terdahulu tidak memperoleh hal itu, kecuali seorang demi
seorang. Allah S.w.t mengaruniai umat ini (umat Nabi Muhammad S.a.w)
dengan mengenal ta’addub (tata krama terhadap Allah) dan didekatkan kedudukan mereka di sisi-Nya sedekat-dekatnya. Di dalam Taurat, Allah menamai mereka Shafwatur-Rahman (pilihan Yang Maha Pengasih). Di dalam Injil, mereka disebut sebagai Ulama’, ‘Ulama, Abrar, dan Atqiya’ (orang-orang yang sabar, orang-orang berilmu, orang-orang yang patuh, dan orang-orang bertakwa).
Dengan demikian maka keutamaan yang dikaruniakan Allah kepada umat ini
sesungguhnya adalah sinar cahaya untuk menanggalkan (membuka) penutup
hati mereka hingga berbagai masalah dapat mereka lihat dengan terang.
قل ان الهدى هدى الله ان يؤتى احد مثل ما اوتيتم
"Katakanlah (hai Nabi), sesungguhnya petunjuk (yang harus diikuti) adalah petunjuk Allah, dan (janganlah engkau percaya) bahwa akan diberikan kepada seseorang seperti apa yang diberikan kepadamu". (QS. Ali ‘Imran: 73).
Para ulama mengatakan, bahwa Yaqin (keyakinan) berbeda-beda, terbagi dalam tiga peringkat, yaitu ‘ilmul-yaqin, ‘ainul-yaqin, dan haqqul-yaqin. ‘Ilmul-yaqin adalah pengetahuan tentang sesuatu yang diperoleh melalui pengamatan dan istidlal (dalil argumentasi). Ainul-yaqin adalah kesanggupan melihat hal-hal yang gaib seperti menyaksikan hal-hal yang kasat mata. Sedangkan Haqqul-yaqin adalah kesanggupan menyaksikan hal-hal yang gaib demikian lekat dan terpadu dengannya.
As-Sariy As-Suqthiy mengatakan, “Al-Yaqin adalah ketenangan Anda pada
saat terjadinya berbagai gejolak di dalam dada (yakni di dalam hati),
karena Anda yakin benar bahwa kesedihan Anda karena gejolak itu tidak
bermanfaat bagi Anda dan tidak akan mendatangkan sesuatu yang Anda
perlukan”.
Penghapusan Beban Berat

Mengenai itu Allah S.w.t berfirman di dalam Al-Qur'an:
الذين يتبعون الرسول النبي الأمي الذي
يجدونه مكتوبا عندهم في التوراة والإنجيل يأمرهم بالمعروف وينهاهم عن
المنكر ويحل لهم الطيبات ويحرم عليهم الخبائث ويضع عنهم إصرهم والأغلال
التي كانت عليهم
"(Orang-orang beriman ialah) mereka yang mengikuti Rasul dan Nabi
yang ummi (tuna aksara), yang namanya mereka temukan termaktub di dalam
Taurat dan Injil yang ada pada mereka; yang menyuruh mereka berbuat
kebajikan dan melarang mereka berbuat kemungkaran; yang menghalalkan
bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang
buruk; dan yang membuang (menghapuskan) dari mereka beban-beban dan
belenggu-belenggu yang ada pada mereka". (QS. Al-A’raf: 157).
Yang dimaksud beban berat yang membelenggu adalah
ketentuan-ketentuan yang membuat orang tidak dapat bergerak. Makna ayat
tersebut ialah, bahwa Allah S.w.t tidak mewajibkan umat Nabi Muhammad
Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam melakukan sesuatu yang
berada di luar kesanggupannya, dan tidak mensyariatkannya seperti
yang disyariatkan bagi umat-umat sebelumnya (sebelum umat Nabi
Muhammad S.a.w). Misalnya seperti yang diwajibkan atas orang-orang Bani
Israil, mereka diwajibkan melakukan amalan-amalan yang sukar dan berat.
Hal itu diibaratkan dengan rantai-rantai besi yang membelenggu leher mereka.
Beban berat yang membelenggu mereka (kaum Yahudi) banyak jenisnya, antara lain sebagai berikut:
Bagian yang Terkena Najis Harus Dipotong
Orang yang pakaiannya terkena najis, ia harus memotong bagian yang terkena kotoran itu. Untuk menyucikannya (membersihkannya) tidak cukup kalau hanya dicuci. Demikian menurut hadits yang diketengahkan oleh Bukhari di dalam Shahih-nya (Bab Al-baul Inda Sibdihatu Oaumin; Kitabul-Wudhu’). Bahkan sebagian dari mereka beranggapan, orang harus memotong apa saja yang terkena najis, meskipun bagian dari tubuh mereka. Hal itu menurut lahirnya riwayat dari Abu Dawud, yang antara lain menyatakan:
كانوا إذا اصاب البول جسد احدهم قطعوا ما اصابه البول منهم
“Pada zaman dahulu apabila tubuh mereka terkena air kencing, mereka diharuskan memotong bagian tubuh yang terkena najis itu.” (Bab Al-Istibru Minal-Baul).
Riwayat Muslim mengenai itu mengatakan, bahwa yang harus dipotong ialah
kulitnya, yakni bagian tubuh yang terkena air kencing harus dikupas
kulitnya. Al-Qurthubi menakwilkan, yang dimaksud dengan kulit adalah
pakaian yang terbuat dari kulit. Riwayat Bukhari menegaskan bahwa yang
dimaksud dengan kulit ialah pakaian. Mungkin saja di antara mereka (para
perawi hadis) ada yang meriwayatkannya dengan makna tersebut. Demikian
disampaikan di dalam Al-Fath/330. Adapun umat Nabi Muhammad S.a.w
disyariatkan untuk membersihkannya cukup disiram dengan air dan dicuci
saja. Cara demikian itu cukup dilakukan, baik yang terkena najis itu
bagian dari masjid, pakaian ataupun badan. Demikianlah yang diterangkan
rinciannya dalam kitab-kitab sunnah.
Tidak Makan Bersama Isteri yang Sedang Haid
Orang-orang Yahudi zaman dahulu apabila isterinya sedang haid, mereka pantang makan bersama, bahkan tidak mau menghubunginya, tidak mau tinggal bersama di dalam satu rumah, dan membiarkan perempuan-perempuan yang sedang haid itu tinggal seorang diri terasing di rumah. Demikianlah yang ditegaskan dalam Hadits Shahih (yang diriwayatkan oleh Muslim dan Ahmad) dari Ibnu Katsir.
Lain halnya dengan umat Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa
shahbihi wa salam, Agama umat ini (Islam) membolehkan suami bergaul
dengan isteri yang sedang haid; makan, minum dan tidur bersama, yang
dilarang oleh syariat Islam hanyalah bersenggama dan istimta’
(bersenang-senang) dengan menyentuh bagian-bagian badan yang terletak di
antara pusar dan lutut. Itu merupakan upaya pencegahan agar tidak
terperosok dalam perbuatan terlarang.
Demikianlah, agama Islam dengan hukum syariatnya, menjaga baik-baik
kecenderungan dan sifat-sifat kemanusiaan manusia di samping hati nurani
dan ruhaninya. Agama Islam menyerasikan keterpaduan antara tuntutan
jasmani dan tujuan ruhani. Itu merupakan minhaj (cara)
yang sangat tinggi dalam memperlakukan manusia, yaitu cara yang
sepenuhnya selaras dengan fitrah manusia yang diciptakan Allah S.w.t.
Ketetapan Hukum Qishash (Hukum Setimpal), Baik dalam Hal Kesalahan yang Disengaja Maupun dalam Hal Kekeliruan
Berlakunya hukum qishash sudah merupakan ketetapan di kalangan Bani
Israil. Bahkan kesalahan yang tak disengaja (kekeliruan) pun harus
dikenakan hukuman Qishash. Di kalangan mereka tidak ada hukum diyat,
baik dalam hal pidana pembunuhan maupun serangan yang mengakibatkan luka
badan. Hal itu terdapat dalam Shahih Bukhari (Bab Diyat: XI1/205).
Mengenai kenyataan tersebut Allah S.w.t menyatakan di dalam firman-Nya:
وكتبنا عليهم فيها ان النفس بالنفس
" ….Dan Kami telah tetapkan alas mereka, di dalam Taurat, bahwa jiwa dibalas dengan jiwa …". (QS. Al-Ma’idah: 48).
Namun Allah S.w.t meringankan umat Nabi Muhammad S.a.w dengan penetapan
hukum diyat (blood money, tebusan nyawa, luka-luka dan sebagainya).
Ketentuan hukum diyat merupakan pengganti hukum qishash bagi pelaku
pidana tersebut yang dimaafkan oleh keluarga (wali) korban. Mengenai ini
Allah S.w.t berfirman:
كتب عليكم القصاص فى القتلى الحر بالحر
والعبد بالعبد والأنثى بالأنثى فمن عفي له من أخيه شيء فالتباع بالمعروف
واداء اليه باحسان ذالك تخفيف من ربكم ورحمة.
"Diwajibkan qishash berkenaan dengan orang-orang yang mati dibunuh.
Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita
dengan wanita. Maka barangsiapa (yakni si pembunuh) yang
mendapatpermaafan dan saudaranya, maka, hendaklah ia (yang memaafkan)
menindaklanjuti dengan baik, dan (yang diberi maaf) hendaknya pula. Itu
merupakan keringanan dari Tuhan kalian dan suatu rahmat"… (QS.A1-Baqarah: 178).
Tobat dengan Bunuh Diri

Setelah mereka (kaum Yahudi) menyembah-nyembah anak sapi, Nabi Musa A.s.
menjelaskan kepada mereka, jika mereka benar-benar hendak bertobat,
maka mereka harus bunuh diri. Mengenai itu Allah S.w.t telah berfirman
di dalam Al Qur'an:
فتوبوا الى بارئكم فاقتلوا انفسكم
"…hendaklah kalian bertobat kepada Tuhan yang menjadikan kalian (Pen-cipta kalian) dan bunuhlah dirimu". (QS. Al-Baqarah: 54).
Demikian juga mengenai cara bertobat dari sejumlah perbuatan maksiat,
mereka harus memotong anggota badan yang digunakan untuk berbuat
maksiat. Seperti potong lidah dalam hal berbuat dusta, pemenggalan buah
zakar dalam hal perbuatan zina, dan pencukilan mata dalam hal perbuatan
melihat perempuan yang bukan keluarganya. (Al-Mawahib: V/381).
Sedangkan bagi umat Nabi Muhammad S.a.w, Allah S.w.t mempermudah cara
bertobat. Allah S.w.t menerima tobat dan berkenan memaafkan berbagai
kejahatan, bahkan lebih senang daripada senangnya seorang ibu menemukan
kembali anak susuannya yang hilang. Allah S.w.t berfirman:
ومن يعمل سوءا او يضلم نفسه ثم يستغفر الله يجد الله غفورا رحيما
"Dan barangsiapa berbuat kejahatan dan menganiaya diri sendiri,
kemudian ia mohon ampunan kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang". (QS. An-Nisa': 110).
Mempermalukan Orang yang Berbuat Maksiat
Orang-orang Bani Israil zaman dahulu, jika ada seorang di antara mereka
berbuat maksiat, esok paginya ia melihat di pintu rumahnya tertulis “Si Fulan berbuat ini dan itu, dan kafaratnya (dendanya) begini dan begitu”. Hal itu dapat disaksikan oleh umum. (Al-Khashaish: III/4).
Lain halnya dengan umat Nabi Muhammad S.a.w, Allah S.w.t memandang
perbuatan seperti di atas lebih baik ditutup. Mengenai itu Rasulullah
Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam telah menegaskan:
كل امتى معافى الا المجاهرين ان يعمل
الرجل بالليل عملا ثم يصبح وقد ستره الله تعالى فيقول : يا فلان. عملت
البارحة كذا وكذا وقد بات يستره ربه ويصبح يكشف سترالله عنه.. متفق عليه
“Semua umatku dapat beroleh maaf kecuali orang-orang yang mengungkapkan (sendiri kesalahannya) yang diperbuat di malam hari (lalu mengungkapkannya sendiri) pada pagi harinya, padahal Allah telah menutupi kesalahannya. Ia mengatakan (kepada orang lain):
‘Hai Fulan, tadi malam aku berbuat begini dan begitu’. Padahal
perbuatannya itu telah ditutupi Allah, Tuhannya, namun keesokan harinya
ia membuka sendiri perbuatannya yang telah ditutupi Allah.”. (Hadits Muttafaq alaihi).
Hukuman Dosa atas Niat Buruk Meskipun Tidak Diwujudkan dengan Perbuatan
Setiap Nabi dan Rasul yang diutus Allah S.w.t dan telah diturunkan
kepadanya Kitab Suci niscaya memberitahu umatnya bahwa Allah S.w.t akan
memperhitungkan apa yang telah mereka perbuat dan yang mereka
sembunyikan di dalam dada. Kaum Bani Israil dahulu menghujat para Nabi
dan Rasul mereka dan mengatakan, “Mengapa kami dikenakan hukuman atas niat buruk yang kami tidak mewujudkannya dengan perbuatan?” Mereka mengingkari para Nabi dan Rasul seraya berkata, “Kami mendengarkan tetapi kami tidak mau menaati!” Setelah orang-orang yang beriman dari kalangan mereka mengatakan, “Kami
mendengar, kami mau menaati, kami berserah diri, dan kami pun beriman
kepada Allah, mengimani malaikat-Nya, Kitab Suci-Nya, dan
Rasul-rasul-Nya,” Allah S.w.t lalu menenteramkan mereka, bahwa Dia
tidak memperhitungkan niat dalam hati mereka kecuali niat yang
diwujudkan dalam perbuatan. Allah S.w.t berfirman di dalam Al Quran:
لها ما كسبت وعليها ماكتسبت
"Ia—seseorang—beroleh pahala dari kebajikan yang dilakukannya, dan ia beroleh siksa dari kejahatan yang diperbuatnya". (QS. Al-Baqarah: 286).
Hukuman atas Kekeliruan dan Kelupaan
Kaum Bani Israil dahulu dikenakan hukuman segera (hukuman di dunia)
berupa pengharaman suatu makanan atau minuman atas dosa-dosa mereka,
baik yang besar maupun yang kecil. (Al-Mawahib: 384).
Tidak demikian halnya dengan umat Nabi Muhammad S.a.w, Allah S.w.t membebaskan
mereka dari dosa kekeliruan dan kelupaan, dan dari sesuatu yang
dipaksakan kepada mereka. Hal itu ditegaskan dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Ahmad (bin Hanbal), Ibnu Hibban, Al-Hakim, Ibnu Majah,
Thabrani, dan Daruquthni dengan isnad yang baik, dipandang baik pula
oleh An-Nawawl. (Al-Mawahib: 384 dan Al-Khashaish: IH/202).
Mereka Diharamkan Melakukan Kegiatan pada Hari Raya Mereka
Hari raya mereka (kaum Yahudi) adalah hari Sabat (Sabtu). Mereka telah
menyatakan sumpah danjanji akan mengagungkan hari Sabtu, akan sepenuhnya
menunaikan kewajiban yang diperintahkan Tuhan, dan tidak akan melakukan
kegiatan atau pekerjaan apa pun pada hari Sabat. Oleh sebab itu setelah
ternyata mereka mencederai sumpah dan janji mereka lalu berupaya
menangkap ikan pada hari itu, Allah S.w.t menjatuhkan hukuman atas
mereka dengan firman-Nya:
كونوا قردة خاشئين
"Jadilah kalian kera yang hina". (QS. Al-Baqarah: 65) Lihat juga Surah Al-A’raf: 163.
Beban hukuman yang seberat itu ditiadakan Allah S.w.t bagi umat Nabi
Muhammad S.a.w. Pada hari-hari raya (hari-hari besar) mereka, yaitu hari
Jumat, sebelum dan sudah salat Jumat mereka boleh bermuamalat
(melakukan kegiatan sosial, ekonomi, dsb.). Mengenai hal itu Allah S.w.t
berfirman:
يا ايهاالذين امنوا اذا نودي للصلوة من
يوم الجمعة فاسعوا الى ذكرالله وذروا البيع . ذلكم خير لكم ان كنتم تعلمون .
فاذا قضيت الصلوة فانتشروا في الارض وابتغوا من فضل الله …
"Hai orang-orang beriman, apabila kalian diseru untuk menunaikan
salat Jumat, hendaknya bersegeralah kalian ingat akan Allah dan
tinggalkanlah jual-beli (dan semua pekerjaan). Yang demikian itu lebih
baik bagi kalian, jika kalian mengetahui. Apabila salat telah
ditunaikan, hendaklah kalian bertebaran di muka bumi dan carilah karunia
Allah …". (QS. Al-Jumu’ah: 9-10).
Wabah Penyakit Tha’un Melanda Umat-Umat Terdahulu Sebagai Azab.
Tha’un adalah jenis penyakit yang mematikan. Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam mem-beritahu kita bahwa zaman dahulu berbagai bencana dan malapetaka— seperti wabah tha’un—ditimpakan Allah S.w.t atas berbagai umat, sebagai azab. Bagi umat Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam apa pun yang terjadi dan mereka alami hanya sebagai rahmat dan pembuktian mengenai kebenaran Allah. Demikianlah menurut Hadits Shahih. (Al-Mawahib: V/391 dan Al-Khashaish: IH/221).
Tha’un adalah jenis penyakit yang mematikan. Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam mem-beritahu kita bahwa zaman dahulu berbagai bencana dan malapetaka— seperti wabah tha’un—ditimpakan Allah S.w.t atas berbagai umat, sebagai azab. Bagi umat Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam apa pun yang terjadi dan mereka alami hanya sebagai rahmat dan pembuktian mengenai kebenaran Allah. Demikianlah menurut Hadits Shahih. (Al-Mawahib: V/391 dan Al-Khashaish: IH/221).
Diharamkan Beberapa Jenis Makanan Yang Baik Bagi Mereka
Itu mempakan hukuman yang dijatuhkan Allah S.w.t atas orang-orang Bani Israil, disebabkan oleh pembangkangan, kezaliman, dan pelecehan mereka terhadap aturan-aturan yang telah ditetapkan Allah S.w.t. Keserakahan membuat mereka lebih menyukai makanan yang bermutu rendah dengan berdalih, “Allah akan mengampuni kami!” Berkaitan dengan itu Allah S.w.t berfirman di dalam Al Quran:
Itu mempakan hukuman yang dijatuhkan Allah S.w.t atas orang-orang Bani Israil, disebabkan oleh pembangkangan, kezaliman, dan pelecehan mereka terhadap aturan-aturan yang telah ditetapkan Allah S.w.t. Keserakahan membuat mereka lebih menyukai makanan yang bermutu rendah dengan berdalih, “Allah akan mengampuni kami!” Berkaitan dengan itu Allah S.w.t berfirman di dalam Al Quran:
فبظلم من الذين هادوا حرمنا عليهم طيبات احلت لهم وبصدهم عن سبيل الله كثيرا
“Maka disebabkan oleh kezaliman orang-orang Yahudi itu, Kami
haramkan atas mereka makanan yang baik-baik, (yang dahulunya)
dihalalkan bagi mereka, karena mereka banyak merintangi (manusia) dari
jalan Allah”. (QS.An-Nisa': 160).
Allah S.w.t telah menjelaskan berbagai hal yang terlarang bagi mereka, yaitu:
Semua hewan yang berkuku utuh (yakni hewan yang tidak berkuku-belah) dan
unggas, seperti unta, burung unta, itik, dan sejenisnya. Semuanya itu
diharamkan bagi mereka.
Gajih (lemak) sapi dan kambing diharamkan bagi mereka, dan gajih
lainnya yang berada di dalam tulang (sumsum), isi perut, gajih yang ada
pada ponok—sebagaimana yang terdapat di dalam surah Al-An’am. (Ibnu
Katsir: 11/200).
Lain halnya dengan umat Nabi Muhammad S.a.w, Allah S.w.t menghalalkan bagi mereka segala yang baik (QS. Al-Ma’idah: 5), dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk (QS. Al-A’raf: 157).
~ Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hassani ~